Selatan ini mengenalkan sejarah perjuangan bangsa Indonesia khususnya sejarah perjuangan TNI dalam merebut, mempertahankan, serta mengisi kemerdekaan melalui diorama-diorama.
Kami berangkat menuju Museum Satriamandala sekitar pukul 11.00 dengan menaiki kopaja 66 dari depan Plaza Festival. Tak sampai 30 menit, kami sudah tiba tepat di depan museum tersebut.
Kami langsung menuju loket yang berada tepat di belakang sebelah kiri gerbang utama untuk membeli tiket masuk. Tak ada petugas di dalam loket, dan kami pun menunggu sekitar 15 menit. Harga tiket masuk Rp 2.500,- per orangnya. Namun ternyata kami juga dimintai biaya karena membawa kamera sebesar Rp 3.000,-.
Kami berangkat menuju Museum Satriamandala sekitar pukul 11.00 dengan menaiki kopaja 66 dari depan Plaza Festival. Tak sampai 30 menit, kami sudah tiba tepat di depan museum tersebut.
Kami langsung menuju loket yang berada tepat di belakang sebelah kiri gerbang utama untuk membeli tiket masuk. Tak ada petugas di dalam loket, dan kami pun menunggu sekitar 15 menit. Harga tiket masuk Rp 2.500,- per orangnya. Namun ternyata kami juga dimintai biaya karena membawa kamera sebesar Rp 3.000,-.
Sebelum kami memasuki museum, di halaman luar kami sudah melihat banyak sekali kendaraan TNI yang digunakan pada zaman dulu, seperti kapal Matjan Tutul yang sangat terlihat jelas oleh mata kami itu membuat kami antusias untuk segera masuk ke museum.
Kami pun tiba di depan museum. Tak ada petugas yang berjaga disana. Kami bingung karena pintu utama untuk masuk ke ruangan ditutup. Akhirnya datang seorang petugas museum menghampiri kami dan hanya bertanya, “Sudah beli tiket?”, tanpa memeriksa tiket yang sudah kami beli tersebut.
Setelah dibukakan pintu oleh petugas museum, kami disambut oleh dinding yang bertuliskan naskah proklamasi. Lalu kami memasuki ruangan diorama I. Disini terdapat diorama-diorama dan juga patung Soeharto serta foto-foto sejarah.
Tak lama, kami memasuki ruang diorama II. Di ruang ini diorama yang dipamerkan lebih banyak dibanding ruang diorama I. Tak hanya itu, ruang diorama II juga terdapat berbagai macam tanda pangkat, seperti tanda pangkat TNI-AU, tanda pangkat harian TNI-AD, tanda pangkat kepolisian negara RI, dll.
Di sebelah kiri kami melihat ruangan kecil yang bisa dibilang agak gelap. Ketika kami masuk ke ruangan tersebut, ternyata berisi foto-foto TNI pada saat sedang melaksanakan tugas. Ruangan ini seperti tak terurus. Lantainya kotor dan terdapat atap yang bolong, serta penerangan yang kurang membuat kami tak betah untuk melihat satu per satu koleksi di ruang itu.
Kami pun tiba di depan museum. Tak ada petugas yang berjaga disana. Kami bingung karena pintu utama untuk masuk ke ruangan ditutup. Akhirnya datang seorang petugas museum menghampiri kami dan hanya bertanya, “Sudah beli tiket?”, tanpa memeriksa tiket yang sudah kami beli tersebut.
Setelah dibukakan pintu oleh petugas museum, kami disambut oleh dinding yang bertuliskan naskah proklamasi. Lalu kami memasuki ruangan diorama I. Disini terdapat diorama-diorama dan juga patung Soeharto serta foto-foto sejarah.
Tak lama, kami memasuki ruang diorama II. Di ruang ini diorama yang dipamerkan lebih banyak dibanding ruang diorama I. Tak hanya itu, ruang diorama II juga terdapat berbagai macam tanda pangkat, seperti tanda pangkat TNI-AU, tanda pangkat harian TNI-AD, tanda pangkat kepolisian negara RI, dll.
Di sebelah kiri kami melihat ruangan kecil yang bisa dibilang agak gelap. Ketika kami masuk ke ruangan tersebut, ternyata berisi foto-foto TNI pada saat sedang melaksanakan tugas. Ruangan ini seperti tak terurus. Lantainya kotor dan terdapat atap yang bolong, serta penerangan yang kurang membuat kami tak betah untuk melihat satu per satu koleksi di ruang itu.
Kami berpindah ke ruang senjata. Disini terdapat senjata-senjata yang digunakan pada masa kemerdekaan dari tahun 1945 hingga sekarang. Ada berbagai macam senjata TNI-AL dan TNI-AD, senjata yang direbut dari tentara asing, dan senjata tradisional tahun 1945-1949 di dalamnya. Seperti, pelempar bom laut MK-VI, torpedo stem, Degtyarev, pedang belanda, samurai, keris, dll.
Kemudian kami keluar dari ruangan senjata dan melanjutkannya ke ruang diorama III. Baru saja melewati pintu ruangan ini, saya dan rekan saya langsung berlihatan satu sama lain. Ya, kami berfikiran sama. Seram.
Ruangan ini sangat besar,tak ada orang satu pun. Hanya ada 7 lampu yang menyala dan ditengah-tengah terdapat turunan yang cukup panjang untuk menuju ruang diorama IV. Lantainya juga agak kotor. Tepat di samping turunan, terdapat 4 buah patung berseragam TNI yang di taruh di lemari kaca dan membuat kami agak takut. Namun, kami tetap berkeliling melihat berbagai diorama di ruangan ini.
Kemudian kami keluar dari ruangan senjata dan melanjutkannya ke ruang diorama III. Baru saja melewati pintu ruangan ini, saya dan rekan saya langsung berlihatan satu sama lain. Ya, kami berfikiran sama. Seram.
Ruangan ini sangat besar,tak ada orang satu pun. Hanya ada 7 lampu yang menyala dan ditengah-tengah terdapat turunan yang cukup panjang untuk menuju ruang diorama IV. Lantainya juga agak kotor. Tepat di samping turunan, terdapat 4 buah patung berseragam TNI yang di taruh di lemari kaca dan membuat kami agak takut. Namun, kami tetap berkeliling melihat berbagai diorama di ruangan ini.
Dinding di ruang ini penuh dengan berbagai macam diorama. Terdapat 50 diorama. Diantaranya, peristiwa merah putih di Manado, perlawanan kapal Gajahmada di perairan Cirebon, pemboman Ambarawa Salatiga dan Semarang. Namun ada beberapa diorama yang penerangannya tidak menyala sehingga tidak terlihat bentuknya.
Lalu kami turun ke ruang diorama VI. Di ruang ini terdapat diorama yang melihatkan peristiwa penting pada tahun 1950-1976. Seperti komando Mandala pembebasan Irian Barat, operasi Trisula di Blitar Selatan, dan Jenderal TNI Soeharto dilantik menjadi presiden Indonesia.
Kami hanya sebentar di ruangan ini, dan langsung menuju ruang seragam dan balairung pahlawan. Pintu ruang seragam dan balairung pahlawan sudah terbuka lebar , berbeda dengan ruangan-ruangan sebelumnya yang harus kita buka terlebih dahulu sebelum masuk.
Kami terdiam di depan pintu. Sudah terlihat bagaimana suasana di ruang ini dari luar. Banyak sekali patung yang menggunakan berbagai macam seragam. Di ruang ini juga tak ada orang satu pun.
Sekitar 2 menit kami berfikir, masih di depan pintu. Setelah ada perasaan takut ketika di ruang diorama III dan VI, kami pun juga merasakan hal yang sama pada ruang seragam ini. Akhirnya kami pun memberanikan diri untuk tetap masuk dengan berjalan cepat tanpa melihat satu patung pun dengan detail.
Kami pun tiba di ruang Balairung Pahlawan. Jika kita ti
dak melewati ruang seragam, kami tidak bisa ke ruang balairung pahlawan. Ruangannya agak gelap. Di ruang ini terdapat patung replika jenderal-jenderal dengan ukuran sangat besar.
Ada Jenderal Anumerta Basuki Rahmat, Jenderal Anumerta Oerip Soemohardjo, Jenderal Anumerta Ahmad Yani, dll. Namun patung yang paling besar di ruangan ini adalah patung Panglima Besar Jenderal Soedirman.
Ketika kami lagi asyik melihat satu per satu koleksi di ruangan ini, di sudut ruangan terdapat sedikit tumpukkan sampah yang sangat mengganggu pengunjung. Di sudut ruangan juga terlihat dua lembar koran tertata memanjang seperti untuk alas tidur. Di samping koran tersebut, ada bekas gelas plastik yang masih tersisa kopi. Kami tak tahu siapa yang melakukan hal tersebut karena di ruang ini tak ada orang, hanya kami berdua.
Lalu kami turun ke ruang diorama VI. Di ruang ini terdapat diorama yang melihatkan peristiwa penting pada tahun 1950-1976. Seperti komando Mandala pembebasan Irian Barat, operasi Trisula di Blitar Selatan, dan Jenderal TNI Soeharto dilantik menjadi presiden Indonesia.
Kami hanya sebentar di ruangan ini, dan langsung menuju ruang seragam dan balairung pahlawan. Pintu ruang seragam dan balairung pahlawan sudah terbuka lebar , berbeda dengan ruangan-ruangan sebelumnya yang harus kita buka terlebih dahulu sebelum masuk.
Kami terdiam di depan pintu. Sudah terlihat bagaimana suasana di ruang ini dari luar. Banyak sekali patung yang menggunakan berbagai macam seragam. Di ruang ini juga tak ada orang satu pun.
Sekitar 2 menit kami berfikir, masih di depan pintu. Setelah ada perasaan takut ketika di ruang diorama III dan VI, kami pun juga merasakan hal yang sama pada ruang seragam ini. Akhirnya kami pun memberanikan diri untuk tetap masuk dengan berjalan cepat tanpa melihat satu patung pun dengan detail.
Kami pun tiba di ruang Balairung Pahlawan. Jika kita ti
dak melewati ruang seragam, kami tidak bisa ke ruang balairung pahlawan. Ruangannya agak gelap. Di ruang ini terdapat patung replika jenderal-jenderal dengan ukuran sangat besar.
Ada Jenderal Anumerta Basuki Rahmat, Jenderal Anumerta Oerip Soemohardjo, Jenderal Anumerta Ahmad Yani, dll. Namun patung yang paling besar di ruangan ini adalah patung Panglima Besar Jenderal Soedirman.
Ketika kami lagi asyik melihat satu per satu koleksi di ruangan ini, di sudut ruangan terdapat sedikit tumpukkan sampah yang sangat mengganggu pengunjung. Di sudut ruangan juga terlihat dua lembar koran tertata memanjang seperti untuk alas tidur. Di samping koran tersebut, ada bekas gelas plastik yang masih tersisa kopi. Kami tak tahu siapa yang melakukan hal tersebut karena di ruang ini tak ada orang, hanya kami berdua.
Kami pun keluar dari ruangan. Tak ada petunjuk selanjutnya. Kami kebingungan, apakah semua ruangan di museum ini sudah kami kunjungi semua atau belum. Akhirnya kami memutuskan naik lift yang tepat berada di sebelah kiri pintu keluar dari ruang balairung pahlawan. Kami menekan lantai 2. Ketika pintu lift terbuka, kami kaget ketakutan. Diam di dalam lift dengan keadaan pintu lift tetap terbuka. Di depan kami penuh barang tak terpakai. Ruangan itu seperti gudang. Gelap.
Kami tutup pintu lift dan melanjutkan ke lantai 3. Karena takut kejadian seperti di lantai 2, kami pun sempat melihat ke kanan dan ke kiri ketika pintu lift sudah terbuka. Ternyata keadaannya berbeda. Kami keluar lift dan melihat sebuah ruangan tertutup. Tak ada orang, tak ada petugas. Setelah kami mencoba melihat-lihat, akhirnya kami memutuskan untuk turun lagi ke lantai 1.
Ternyata ruang seragam dan balairung pahlawan adalah ruangan terakhir di museum tersebut. Kami hanya bingung mengapa tak ada satu pun petugas yang berjaga di setiap ruang yang tersedia di museum ini. Pengunjung dibebaskan begitu saja untuk mengunjungi tanpa adanya pengawasan. Ruangan tak terurus hingga ada sampah pun tak segera di bersihkan. Entah kurang petugas, atau memang tak peduli. Padahal diorama yang ditampilkan benar-benar menarik perhatian pengunjung karena terlihat sangat nyata. Namun sayangnya, buruk dalam hal pengurusan museum. (DSO)
Kami tutup pintu lift dan melanjutkan ke lantai 3. Karena takut kejadian seperti di lantai 2, kami pun sempat melihat ke kanan dan ke kiri ketika pintu lift sudah terbuka. Ternyata keadaannya berbeda. Kami keluar lift dan melihat sebuah ruangan tertutup. Tak ada orang, tak ada petugas. Setelah kami mencoba melihat-lihat, akhirnya kami memutuskan untuk turun lagi ke lantai 1.
Ternyata ruang seragam dan balairung pahlawan adalah ruangan terakhir di museum tersebut. Kami hanya bingung mengapa tak ada satu pun petugas yang berjaga di setiap ruang yang tersedia di museum ini. Pengunjung dibebaskan begitu saja untuk mengunjungi tanpa adanya pengawasan. Ruangan tak terurus hingga ada sampah pun tak segera di bersihkan. Entah kurang petugas, atau memang tak peduli. Padahal diorama yang ditampilkan benar-benar menarik perhatian pengunjung karena terlihat sangat nyata. Namun sayangnya, buruk dalam hal pengurusan museum. (DSO)